Belajar itu kata kerja. Artinya yang penting adalah pendekatan proses. Bagaimana anak "mengalami" proses belajar. Dari mengalami itulah diharapkan muncul "transformasi", perubahan. Perubahan apa? perubahan pikiran dan--ujungnya yang diharapkan--tingkah laku.
Entah mengapa sekolah kita lebih suka "melompat" langsung ke hasil, alih-alih proses. Seolah entah prosesnya seperti apa, yang penting hasilnya. Dan hasil ini pun direduksi sebatas angka. Angka itu pun tidak representatif. Apa bukti tidak representatif? jelas sekali, semua pendaftaran jenjang pendidikan tertentu masih menerapkan tes ulang. Tidak mengacu--bukti bahwa tidak percaya--pada angka di rapor atau ijazah.
Makanya begitu ada perubahan isu dalam kurikulum, selalu yang ramai adalah "soal". Bukan soal nyata, tapi "soal" yang dibuat-buat. Misalnya, sedang menghangat HOTS yang dikejar "pelatihan membuat soal HOTS". Sedang ramai pembelajaran daring, yang dikejar "pelatihan membuat soal dengan bla..bla..bla..".
Kementerian Pendidikan pun juga suka "melompat". Seperti sekarang ini. Kebakaran jenggot akibat skor PISA Indonesia yang selalu rendah dibandingkan negara maju dijawab dengan kebijakan mengubah evaluasinya. AKM, "A"-nya itu adalah Assesmen, padanan katanya penilaian, alias ya soal lagi. Bisa saja berkilah bahwa penilaian itu rentetan dari proses. Ya, tapi kemendikbud fokus pada Assesmen-nya, bukan pembelajarannya.
Jadilah sekarang para guru dan penyedia pelatihan sibuk dengan "pembuatan soal berorientasi AKM". Nanti siswa akan diberi "soal buatan" ini, yang saya yakin akan sama saja pola pembuatannya dari soal-soal yang sebelumnya: copy-paste. Jadi pelatihan pembuatan soal AKM itu seperti "ajang berbagi file soal AKM".
Padahal ada banyak "soal nyata" di sekitar kita. Tapi siswa kita disibukkan dengan "soal buatan". Mereka sibuk menjawab soal tentang banjir, tapi lupa membersihkan selokannya. Mereka sibuk menjawab soal tentang kebudayaan, tapi bingung berbicara bahasa daerah. Mereka sibuk menjawab soal tentang demokrasi, tapi manut ketika pemilu disodori uang beli suara.
Parahnya lagi, soal-soal buatan ini pun sudah ditentukan jawabannya. Bahkan jawaban ini sudah sedemikian otomatis. Selesai menjawab soal buatan itu, langsung muncul hasilnya. Tidak ada diskusi. Pokoknya itu jawabannya. Titik. Mau diskusi seperti apa, lha terlalu banyak hal yang harus dipelajari siswa dalam terlalu sedikit waktu belajar.
Saya tidak sedang mengkritik para guru. Kasihan mereka. Diombang-ambing kebijakan yang tidak jelas landasan filosofisnya. Guru umumnya menjadi seperti petugas sensus: mencatat angka perolehan siswa, melakukan tabulasi dengan hasil minimal yang sudah ditentukan. Lalu hasil tabulasi itu diambil pemerintah untuk membuat peta, mana daerah yang dianggap pintar menjawab soal buatan dan mana yang belum.
Saya melihat rekan-rekan guru itu malah bisa menjadi "guru sepenuhnya" justru di luar pembelajaran. Memotivasi siswa yang sedang kacau, memberi saran-saran yang menguatkan, hingga membantu kesulitan ekonominya.
Di tengah dunia yang berubah makin kompetitif--tidak hanya antar manusia tapi juga manusia dengan mesin--ini, pendidikan kita harus berbenah. Tinggalkan kebiasaan membikin "soal buatan" dan mari ajari anak kita menemukan "soal nyata" di sekitar mereka, ajak menjadi solusi dari soal itu. Dengan demikian akan terwujud pendidikan yang berkesan, pendidikan yang memanusiakan, pendidikan yang memerdekakan, dan konsep-konsep lain yang telah banyak dipelajari dalam kelas-kelas keguruan itu. Semoga.
Ahmad Faizin Karimi
@afkareem
0 2:
Posting Komentar