Visi Indonesia 2045, adalah menjadi negara yang “berdaulat, maju, adil, dan makmur”.
Untuk mewujudkan visi tersebut, pendidikan menjadi kunci utamanya.
sehingga dibutuhkan sektor pendidikan yang mampu menghasilkan sumber
daya manusia yang berkualitas, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi,
mandiri, serta mampu meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Selain
itu, Sisdiknas harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan,
peningkatan mutu, dan relevansi pendidikan untuk mengakomodasi
keberagaman Indonesia dan menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan
perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.
Sehingga dilakukan perubahan pada UU Sisdiknas sebelumnya yaitu UU Sisdiknas No 20 tahun 2003. pada kesempatan ini, kita mencoba mengenal RUU Sisdiknas tahun 2022, lebih dekat lagi.
RUU Sisdiknas 2022 terdiri dari 16 Bab, 150 Pasal.
- Bab 1: Ketentuan Umum. terdiri dari pasal 1
- Bab 2: Dasar, Fungsi, Tujuan dan Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan , terdiri dari Pasal 2-5
- Bab 3: Tugas, wewenang, Hak dan Kewajiban,
terdiri dari Bagian satu (Tugas dan Wewenang Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah , dari pasal 6-9). Bagian kedua (Tugas dan wewenang
menteri, dari pasal 10). Bagian ketiga (Hak dan Kewajiban Waga Negara
dari pasal 11-12). Bagian keempat (Hak dan Kewajiban Orang tua, dari
pasal 13-14). Bagian kelima (Hak dan Kewajiban Masyarakat dari pasal
15-16)
- Bab 4: Jalur Pendidikan, Jenjang Pendidikan dan Jenis Pendidikan,
terdiri dari Bagian satu (Umum dari pasal 17-19), Bagian kedua (jalur
Pendidikan Formal dari pasal 20-45), Bagian ketiga (jalur Pendidikan Non
Formal, dari pasal 46-52), bagian keempat (Jalur Pembelajaran Informal,
dari pasal 53-55)
- Bab 5: Penyediaan Daya Tampung dan Pendanaan Pendidikan,
terdiri dari Bagian satu (Penyediaan daya tampung dan pendanaan
pendidikan untuk wajib belajar, dari pasal 56-58), Bagian kedua
(Penyediaan daya tampung dan pendanaan pendidikan diluar wajib belajar,
dari pasal 59 -62),
- Bab 6; Pelajar dengan kondisi Khusus dari pasal 63-69
- Bab 7: Standar Nasional Pendidikan, dari pasal 70 - 78
- Bab 8: Kurikulum, terdiri
dari bagian kesatu (Kurikulum Jenjang PAUD dan Pendidikan Dasar dan
Menengah, terdiri dari pasal 79-83), Bagian Kedua (Kurikulum Pendidikan
Tinggi, dari pasal 84 -85)
- Bab 9: Pembelajaran dan Penilaian Pelajar, terdiri dari bagian kesatu (Pembelajaran, dari pasal 86-87), Bagian kedua (Penilaian Pelajar, dari pasal 88-92)
- Bab 10: Akreditasi dan Evaluasi , terdiri dari Bagian kesatu (Akreditasi, dari pasal 93-98), Bagian kedua ( Evaluasi dari pasal 99-103)
- Bab 11: Pendidik dan Tenaga Kependidikan,
terdiri dari bagian kesatu ( Pendidik, paragraf 1 tentang Umum dari
pasal 104-107, Paragraf 2 tentang Guru dari pasal 108 - 112, paragraf 3
tentang Dosen dari pasal 113-117, Paragraf 4 tentang Instruktur dari
pasal 118-119, paragraf 5 tentang pendidik keagamaan dari pasal 120-121)
, Bagian kedua tenaga kependidikan, dari pasal 122-126
- Bab 12: Sekolah Diplomatik dan Lembaga Pendidikan Asing, terdiri dari Bagian Kesatu (Sekolah Diplomatik dari pasal 127), Bagian kedua (lembaga Pendidikan Asing, dari pasa; 128-129)
- Bab 13: Sanksi Administratif dari pasal 130-132
- Bab 14: Ketentuan Pidana , dari pasal 133-136
- Bab 15: Ketentuan Pilihan , dari pasal 137-145
- Bab 16: Ketentuan Penutup, dari pasal 146-150
Selengkapnya
bisa anda simak perubahan-perubahan atau tambahan dari UU Sisdiknas
2003 ke RUU Sisdiknas 2022 disadur dari Pemaparan Kemdikbudristek,
Agustus 2022 sehingga dapat lebih memahami dan mengenal RUU Sisdiknas
2022 diantaranya :
Latar Belakang pembentukan RUU Sisdiknas 2022
Kondisi dan Pengaturan saat ini |
Perbaikan yang diusulkan |
- Saat ini, Indonesia menjalankan satu sistem pendidikan namun
diatur dalam tiga Undang-Undang, yaitu UU 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen
(UU Guru dan Dosen), dan UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU
Dikti), sehingga memunculkan ketidakselarasan. Contoh: Standar Nasional
Pendidikan dalam UU Sisdiknas dan Standar Nasional Pendidikan Tinggi
dalam UU Pendidikan Tinggi.
|
- Integrasi UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, dan UU Dikti
dalam satu UU untuk melaksanakan amanah UUD 1945 tentang satu sistem
pendidikan, dan agar pengaturan di tingkat UU tidak tumpang tindih
|
- Beberapa pengaturan terlalu mengunci sehingga menimbulkan
permasalahan dalam implementasinya dan tidak dapat mengikuti
perkembangan jaman. Contoh: kewajiban 24 jam mengajar,
bentuk-bentuk/nomenklatur satuan pendidikan, nomenklatur pendidik.
|
- Untuk merespon perkembangan yang cepat, undang-undang ini disusun lebih fleksibel, tidak terlalu rinci
|
- Telah ada beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah
materi UU. Contoh: putusan MK yang membatalkan sekolah bertaraf
internasional, putusan MK yang memasukkan kembali gaji guru ke dalam 20%
APBN.
|
- RUU Sisdiknas yang sedang direncanakan sudah mengakomodasi
semua putusan Mahkamah Konstitusi terkait tiga UU yang diintegrasikan.
- Prinsip-prinsip
Merdeka Belajar yang menekankan kualitas belajar mengajar serta
memperluas ruang inovasi dalam sistem pendidikan perlu terkandung dalam
RUU Sisdiknas ke depanny
|
Bab 2. Dasar, Fungsi dan Tujuan Penyelenggaraan Pendidikan
Kondisi dan Pengaturan saat ini |
Perbaikan yang diusulkan |
- UU Sisdiknas mengatur bahwa pendidikan nasional berdasarkan
Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, sedangkan UU Dikti mengatur bahwa
pendidikan tinggi mengatur bahwa pendidikan tinggi berdasarkan
Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
Bhinneka Tunggal Ika.
|
- Menyelaraskan dasar pendidikan yang tertuang dalam UU
Sisdiknas dan UU Dikti, sehingga pendidikan nasional diselenggarakan
berdasarkan Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
|
- Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa.
|
- “Fungsi” diartikan dalam KBBI sebagai kegunaan suatu hal,
maka pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan potensi pelajar
dengan karakter Pancasila agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, mandiri, berilmu dan
bernalar kritis, berkebinekaan, bergotong royong, dan kreatif.
|
- Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
|
- “Tujuan” diartikan dalam KBBI sebagai arah, haluan, dan
maksud, maka pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa, membentuk masyarakat yang religius, menjunjung kebinekaan,
demokratis dan bermartabat, memajukan peradaban, serta menyejahterakan
umat manusia lahir dan batin.
|
Bab 2. Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan
Kondisi dan Pengaturan Saat ini |
Perbaikan yang diusulkan |
- Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
|
- Mengganti istilah “peserta didik” menjadi “pelajar” untuk
menegaskan posisi aktif pelajar sebagai subjek utama pendidikan, bukan
hanya sebagai peserta proses pendidikan.
|
- Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung.
|
- Mengganti prinsip membaca, menulis, dan berhitung dengan
penyelenggaraan pendidikan yang berorientasi pada pelajar dan lebih
holistik untuk mengembangkan kompetensi multidimensi dan kompetensi
global.
|
- Pendidikan diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan, serta tidak diskriminatif.
|
- Menambahkan prinsip inklusif untuk menghilangkan hambatan
yang membatasi partisipasi dan menghargai keberagaman kebutuhan,
kemampuan dan karakteristik pelajar sesuai dengan mandat UU Penyandang
Disabilitas.
|
- Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan,
membangun kemauan, dan mengembangan kreativitas peserta didik dalam
proses pembelajaran.
- Pendidikan diselenggarakan dengan
memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
|
- Menambahkan prinsip dari UU Pendidikan Tinggi yaitu menjunjung tinggi kebenaran ilmiah.
|
Bab 3, Tugas dan Wewenang Pemerintah
Kondisi dan Pengaturan saat ini |
Perbaikan yang diusulkan |
- Pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan
|
- Mahkamah Konstitusi menggunakan istilah tugas dan wewenang,
bukan hak dan kewajiban, untuk lembaga negara. RUU Sisdiknas
menyesuaikan dengan mengatur tugas dan wewenang pemerintah pusat dan
pemerintah daerah terkait sistem pendidikan nasional
|
- Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan
dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu
bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
|
- Mempertegas bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga
negara. Frase “tanpa diskriminasi” tidak perlu disebutkan kembali karena
sudah terkandung dalam prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional
secara nondiskriminatif
|
- Tugas dan wewenang Menteri Pendidikan diatur terpisah dalam UU Sisdiknas dan UU Dikti
|
- Mengintegrasikan dan menyelaraskan pengaturan tugas dan wewenang Menteri Pendidikan pada UU Sisdiknas dan UU Dikti
|
Bab 3, Hak dan Kewajiban warga negara, orang tua dan masyarakat
Kondisi dan Pengaturan saat ini |
Perbaikan yang diusulkan |
- Warga negara berhak memperoleh pendidikan yang bermutu,
mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat, serta
mendapatkan beasiswa dan bantuan pendidikan. Warga negara berkewajiban
mengikuti pendidikan dasar, menjaga norma-norma pendidikan, serta ikut
menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan
|
- Kewajiban warga negara dan masyarakat untuk ikut menanggung
biaya penyelenggaraan pendidikan serta memberikan dukungan sumber daya
dalam penyelenggaraan pendidikan tidak diatur dalam bab hak dan
kewajiban, melainkan dalam bab tentang pendanaan pendidikan. Hal ini
dilakukan untuk memperjelas pendanaan yang bersumber dari pemerintah dan
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, baik jenjang yang termasuk
cakupan wajib belajar maupun yang tidak termasuk cakupan wajib belajar
|
- Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan
pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan
anaknya. Orang tua dari anak usia wajib belajar berkewajiban memberikan
pendidikan dasar kepada anaknya.
|
- Peranan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan evaluasi pendidikan dapat dilakukan baik oleh
perorangan, kelompok, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan,
maupun dunia usaha/dunia industri. Maka bentuk keterlibatan tertentu
seperti dewan pendidikan dan komite sekolah tidak lagi diatur dalam
batang tubuh RUU, agar tidak membatasi bentuk peran serta masyarakat
dalam sektor pendidikan.
|
- Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan
kekhasan agama, lingkungan sosial, dan/atau budaya. Masyarakat berhak
berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi
program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.
Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam
penyelenggaraan pendidikan.
|
|
Bab 3, Wajib belajar
Kondisi dan pengaturan saat ini |
Perbaikan yang diusulkan |
Cakupan wajib belajar adalah pendidikan dasar 9 tahun. |
Wajib belajar terdiri atas: 1. Wajib belajar 10 tahun pada pendidikan dasar.
- Mencakup kelas prasekolah (kelas 0), kelas 1-kelas 9.
- Berlaku secara nasional.
|
Belum semua anak usia wajib belajar mendapatkan layanan wajib belajar pada pendidikan dasar. |
2. Wajib belajar pada pendidikan menengah.
- Mencakup kelas 10-kelas 12.
- Perluasan
ke pendidikan menengah dilakukan secara bertahap pada daerah yang
memenuhi kriteria, untuk memastikan bahwa kualitas pendidikan dasar
sudah memenuhi standar.
- Pemerintah pusat membantu pemerintah daerah sesuai kebutuhan secara berkeadilan.
|
Perluasan wajib belajar ke pendidikan menengah kerap dilakukan di daerah tanpa memastikan kualitas pendidikan dasar sudah mencukupi. |
Memperjelas pendanaan pemerintah dan masyarakat: 1. Wajib belajar:
- Pemerintah
mendanai penyelenggaraan wajib belajar bagi semua satuan pendidikan
(negeri maupun swasta) yang memenuhi persyaratan.
- Satuan
pendidikan negeri tidak memungut biaya, namun masyarakat dapat
berkontribusi secara sukarela, tanpa paksaan, dan tidak mengikat.
|
Sekolah negeri seringkali menghadapi masalah jika masyarakat ingin berkontribusi secara sukarela.
|
2. Di luar wajib belajar:
- Pemerintah mendanai satuan pendidikan negeri dan dapat memberikan bantuan kepada satuan pendidikan swasta.
- Pada satuan pendidikan negeri, uang sekolah non wajib belajar ditetapkan sesuai kemampuan ekonomi pelajar.
|
Bab 4, Jalur, Jenis dan Jenjang Pendidikan
Kondisi dan Pengaturan saat ini |
Perbaikan yang diusulkan |
- Ada variasi yang besar dalam jalur formal dan nonformal, namun diatur dengan standar dan regulasi yang seragam.
|
- Variasi pendidikan formal dan nonformal lebih dimunculkan
dengan mengakomodasi juga UU Pesantren dan bentuk pendidikan keagamaan
yang ada.
|
- Perbedaan antara pendidikan nonformal dengan pendidikan informal tidak tergambar dengan jelas
|
- Menyesuaikan definisi pendidikan formal, pendidikan
nonformal, dan pembelajaran informal dengan definisi internasional
(ISCED). Dalam penjelasan RUU, sekolah rumah menjadi bagian pendidikan
nonformal, sedangkan pembelajaran tidak terstruktur di keluarga menjadi
bagian pembelajaran informal. Penyelenggara pendidikan nonformal
berbentuk perorangan atau badan hukum yang berprinsip nirlaba.
|
- Hasil pendidikan nonformal dan informal dapat diakui setara
dengan pendidikan formal, secara implisit memberi kesan bahwa pendidikan
formal memiliki derajat lebih tinggi.
|
- “Pembelajaran” lebih luas dari “pendidikan”. Pembelajaran
adalah proses perolehan atau modifikasi informasi, pengetahuan,
pemahaman, sikap, nilai, keterampilan, atau perilaku. Pembelajaran dapat
terjadi melalui pendidikan, tapi tidak harus, bisa juga melalui
pengalaman hidup. ll
|
- Tidak ada pengaturan eksplisit tentang perpindahan antar jalur pendidikan
|
- Perbedaan utama pendidikan nonformal dan pembelajaran informal:
- Pendidikan
nonformal: dapat terstruktur dan dapat terlembaga, dihitung dalam
program wajib belajar, perlu terdaftar dan mendapatkan izin.
- Pembelajaran
informal: tidak harus terstruktur dan tidak terlembaga, tidak dihitung
dalam program wajib belajar, tidak perlu izin.
- Pemerintah
melaksanakan penilaian pelajar yang bersifat opsional bagi pelajar dari
semua jalur pendidikan yang ingin mendapatkan pengakuan hasil belajar.
- Memperjelas
pengaturan perpindahan antar jalur pendidikan untuk memfasilitasi multi
entry multi exit dan menjamin akses pada pembelajaran sepanjang hayat.
|
Bab 4. PAUD
Kondisi dan Pengaturan saat ini |
Perbaikan yang diusulkan |
- PAUD belum menjadi jenjang tersendiri dalam pengaturan
tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dalam sistem pendidikan
nasional
|
- PAUD menjadi jenjang tersendiri dalam pengaturan tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dalam sistem pendidikan nasional.
|
- PAUD dapat masuk jalur formal maupun nonformal.
|
- PAUD dapat dilaksanakan melalui jalur formal dan nonformal dengan pengaturan kategori usia dan layanan yang jelas.
|
- Dalam UU Sisdiknas, jenis layanan PAUD belum diatur,
sehingga dalam penyelenggaraannya PAUD masih bercampur antar anak dengan
berbagai kategori usia
|
- RUU tidak lagi mengatur bentuk satuan pendidikan PAUD, melainkan mengatur jenis layanan PAUD.
- PAUD formal diselenggarakan untuk usia 3-5 tahun dengan jenis layanan berupa taman anak
- PAUD non formal dislenggarakan untuk usia 0-5 tahun dalam bentuk layanan pengasuhan anak
- Layanan
PAUD bagi anak usia 6 tahun keluar dari cakupan PAUD dan menjadi kelas
prasekolah dalam jenajng pendidikan dasar kelas prasekolah masuk dalam
cakupan wajib belajar 10 tahun.
|
Bab 4. Pendidikan dasar dan Menengah
Kondisi dan Pengaturan saat ini |
Perbaikan yang diusulkan |
- Jenjang pendidikan dasar terdiri atas kelas 1 sampai kelas 9
|
- Jenjang pendidikan dasar terdiri atas kelas prasekolah,
kelas 1 sampai kelas 9. Kelas prasekolah bertujuan untuk membantu anak
menjalani transisi dengan lancar menuju proses belajar yang lebih
terstruktur.
|
- Jenjang pendidikan menengah terdiri atas kelas 10 sampai kelas 12. Pendidikan menengah kejuruan dapat ditambah sampai kelas 13.
|
- Jenjang pendidikan menengah diseragamkan menjadi kelas 10 sampai kelas 12.
|
- Nomenklatur satuan pendidikan seperti SD/MI, SMP/MTs,
SMA/SMK/MA/MAK ada di dalam UU Sisdiknas sehingga nomenklatur yang sudah
tidak relevan seperti “kejuruan” tidak bisa diubah.
|
- Sekolah, madrasah, pesantren, dan satuan pendidikan
keagamaan seperti sekolah menengah teologi merupakan bentuk satuan
pendidikan dasar dan menengah yang diatur dalam batang tubuh RUU,
sedangkan nomenklatur seperti SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA/MAK tidak masuk
ke dalam batang tubuh melainkan sebagai contoh dalam penjelasan.
|
|
- Dengan demikian, pemerintah membuka ruang agar sebuah satuan
pendidikan menengah dapat berinovasi dengan pendidikan umum dan
pendidikan vokasi.
|
Bab 4. Pendidikan Tinggi
Kondisi dan Pengaturan saat ini |
Perbaikan yang diusulkan |
- Tridarma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat) diterapkan secara seragam pada semua
perguruan tinggi.
|
- Masing-masing perguruan tinggi dapat menentukan proporsi
pelaksanaan tridarma sesuai visi, misi, dan mandat perguruan tinggi
tersebut.
|
- Perguruan Tinggi Negeri memiliki tingkat otonomi berbeda-beda (Badan Hukum, Badan Layanan Umum, dan satuan kerja).
|
- Perguruan tinggi negeri berbentuk PTN Badan Hukum untuk mengakselerasi transformasi.
- Tanpa mengurangi dukungan pembiayaan dari pemerintah.
- Dengan tetap memberlakukan standar biaya pemerintah dan afirmasi terhadap calon mahasiswa dari keluarga tidak mampu.
- Perubahan
bentuk PTN menjadi PTN BH tidak wajib untuk PT keagamaan di bawah
Kementerian Agama dan tidak berlaku bagi PTKL di bawah
kementerian/lembaga lain.
|
- Pimpinan PTS seringkali merangkap sebagai pengurus yayasan
sehingga mengurangi akuntabilitas dan kualitas pendidikan. Konflik
yayasan PTS semakin marak terjadi.
|
- Perguruan tinggi swasta memiliki pengurus yang berbeda dan
pengelolaan keuangan yang terpisah dengan badan penyelenggara untuk
meningkatkan akuntabilitas antara kedua belah pihak.
|
Bab 6. Pelajar dengan Kondisi Khusus
Kondisi dan pengaturan saat ini |
Perbaikan yang diusulkan |
- Perbedaan antara pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus dalam UU Sisdiknas kurang jelas.
|
- Pengaturan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus
diubah menjadi berorientasi pada pelajar dengan memperluas definisi
pelajar dengan kondisi khusus, termasuk pelajar terlantar, pelajar usia
anak yang berhadapan dengan hukum, pelajar yang mengalami bencana,
pelajar pencari suaka, pelajar pengungsi, pelajar tanpa kewarganegaraan.
|
- Belum ada pengaturan yang jelas mengenai penyelenggaraan dan
pemenuhan layanan pendidikan bagi pelajar penyandang disabilitas
ataupun pelajar dengan kondisi khusus lainnya.
|
- Pengaturan yang lebih responsif dan adaptif agar setiap
pelajar dengan berbagai kondisi mendapatkan layanan pendidikan sesuai
kondisi dan kebutuhannya
|
- Pelajar penyandang disabilitas dan pelajar dengan kecerdasan dan bakat istimewa diatur dalam kategori yang sama.
|
- Pengaturan penyelenggaraan dan pemenuhan layanan pendidikan
bagi pelajar penyandang disabilitas menyesuaikan dengan UU Nomor 8 Tahun
2016 tentang Penyandang Disabilitas
|
Bab 7. Standar Nasional Pendidikan (SNP)
Kondisi dan Pengaturan saat ini |
Perbaikan yang diusulkan |
- Standar nasional pendidikan (SNP) diterapkan secara seragam
di seluruh Indonesia, tanpa melihat variasi kondisi dan kebutuhan
daerah.
|
- Ada tahapan pemenuhan SNP yang diberlakukan secara
bervariasi sesuai dengan kondisi tiap daerah agar tiap pemerintah daerah
termotivasi melakukan perbaikan yang bermakna.
|
- SNP diterapkan secara seragam di semua jalur dan jenjang pendidikan, meski karakteristik tiap jalur/jenjang berbeda-beda.
|
- Tidak semua SNP diterapkan pada semua jalur pendidikan untuk
memberi pengakuan keragaman praktik yang kontekstual dan merancang
intervensi yang lebih tepat.
|
- SNP diatur secara rinci ke dalam 8 standar sehingga peraturan turunannya terlalu mengikat dan cenderung bersifat administratif.
|
- SNP dikelompokkan dalam 3 standar (input, proses, dan capaian) sehingga lebih fleksibel dan berorientasi pada mutu.
|
- Dengan kombinasi UU Sisdiknas dan UU Dikti, Standar Nasional
Dikti berjumlah 24 (8 SNP pada masing-masing darma dari tridarma
perguruan tinggi).
|
- Standar Nasional yang berlaku pada pendidikan tinggi lebih
sederhana menjadi 9 (3 SNP pada masing- masing darma dari tridarma
perguruan tinggi).
|
- esantren berjalan terpisah dari sistem pendidikan nasional
pada umumnya. Lulusan pesantren mengalami kesulitan untuk berpindah ke
satuan pendidikan formal di luar pesantren.
|
- Standar nasional pendidikan berlaku pada keseluruhan jalur
pendidikan formal termasuk untuk pesantren formal, sebagai jembatan agar
lulusan pesantren formal bisa mudah pindah ke sekolah, madrasah, dan
universitas, dan sebaliknya.
|
Bab 8-9. Kurikulum, Pembelajaran dan Penilaian Pelajar
Kondisi dan Pngaturan saat ini | Perbaikan yang diusulkan |
- UU Sisdiknas mengatur kewarganegaraan sebagai muatan wajib
dalam kurikulum namun tidak mengatur Pancasila sebagai muatan wajib
dalam kurikulum.
|
- Kurikulum wajib mencakup mata pelajaran pendidikan agama, pendidikan Pancasila, dan Bahasa Indonesia.
|
- Satuan pendidikan menginterpretasikan muatan wajib sebagai mata pelajaran.
|
- Selain mata pelajaran di atas, juga ada muatan wajib
matematika, IPA, IPS, seni budaya, pendidikan jasmani dan olahraga,
keterampilan/kecakapan hidup, dan muatan lokal. Muatan wajib tidak harus
dalam bentuk mata pelajaran masing-masing dan diorganisasikan secara
fleksibel, relevan, dan kontekstual. Maka satuan pendidikan bisa lebih
kreatif dalam mendorong pembelajaran lintas disiplin/multi disiplin. .
|
- UU Sisdiknas tidak mengatur siklus pembelajaran.
|
- Mengatur siklus pembelajaran yang terdiri atas perencanaan, pelaksanaan, dan asesmen.
|
- UU Sisdiknas tidak membedakan antara asesmen formatif dan penilaian pelajar
|
- Menegaskan perbedaan antara asesmen dan penilaian pelajar sebagai berikut: :
- Asesmen merupakan bagian dari siklus pembelajaran dan dilakukan secara terus menerus untuk perbaikan pembelajaran
- Penilaian
pelajar merupakan kegiatan yang dilakukan pendidik, bukan pemerintah,
yang mengandung unsur keputusan. Misalnya untuk kenaikan kelas pelajar
dan kelulusan pelajar
|
Bab 10. Akreditasi dan Evaluasi
Kondisi dan Pengaturan saat ini |
Perbaikan yang diusulkan |
- UU Sisdiknas maupun UU Pendidikan Tinggi tidak mengatur tentang akreditasi oleh lembaga akreditasi internasional.
|
- Menambahkan pengaturan mengenai akreditasi oleh lembaga akreditasi internasional. :
- Lembaga akreditasi internasional diakui oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
- Pada
jenjang pendidikan anak usia dini, jenjang pendidikan dasar, dan
jenjang pendidikan menengah, akreditasi satuan pendidikan oleh lembaga
akreditasi internasional bersifat opsional.
- Pada jenjang
pendidikan tinggi, akreditasi program studi bersifat wajib dan dilakukan
oleh lembaga akreditasi mandiri, atau dapat dilakukan oleh lembaga
akreditasi internasional.
|
- UU Sisdiknas mengatur dua jenis evaluasi: a) evaluasi yang
bertujuan untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar
peserta didik, dan b) evaluasi yang bertujuan menilai pencapaian standar
nasional pendidikan.
|
- Menegaskan perbedaan antara penilaian pelajar oleh pendidik
dan evaluasi sistem pendidikan oleh pemerintah. Kedua hal tersebut tidak
perlu dilakukan dengan metode yang sama.
|
- Berdasarkan pengaturan evaluasi di atas, sejak tahun 2003
hingga tahun 2014 evaluasi sistem dilaksanakan melalui ujian nasional
berskala besar berbasis sensus. Padahal evaluasi terhadap sistem
pendidikan Indonesia tidak perlu dilakukan melalui ujian yang ditempuh
semua peserta didik, karena inferensi atau kesimpulan yang hendak
diambil ada pada level populasi: kelompok peserta didik di sebuah
sekolah, daerah, dan seterusnya.
|
|
Bab 11. Pendidik dan Tenaga kependidikan
Kondisi saat ini |
Perbaikan yang diusulkan |
- Banyak kategori pendidik yang menjalankan tugas seperti guru
namun tidak diakui sebagai guru, contohnya: konselor, pamong belajar,
widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator.
|
- Pendidik terdiri atas guru, dosen, instruktur, dan pendidik
keagamaan. Dengan penyederhanaan kategori pendidik, individu yang
menjalankan tugas selayaknya guru dan memenuhi persyaratan akan diakui
sebagai guru. Dengan demikian, pendidik PAUD 3-5 tahun, pendidik dalam
satuan pendidikan kesetaraan, dan pendidik dalam pesantren formal akan
masuk ke dalam kategori guru.
|
- Guru wajib memiliki kualifikasi akademik S1/D-IV.
|
- Penegasan bahwa setiap orang yang akan berprofesi sebagai
guru wajib lulus dari Pendidikan Profesi Guru (PPG). Bagi guru yang
sudah mengajar saat UU terbit namun belum mengikuti atau belum lulus
dari PPG, dapat tetap mengajar.
|
- Hanya guru yang memiliki sertifikasi yang berhak mendapatkan tunjangan profesi.
|
- Pemisahan pengaturan sertifikasi dan pengaturan penghasilan
guru. Sertifikat pendidik dari PPG merupakan prasyarat menjadi guru
untuk calon guru baru. Akan tetapi, bagi guru yang sudah mengajar namun
belum memiliki sertifikasi, berhak untuk langsung mendapatkan
penghasilan yang layak tanpa perlu menunggu antrian sertifikasi. Hal ini
sesuai dengan pengaturan dalam UU ASN dan UU Ketenagakerjaan.
|
- Belum adanya kode etik guru yang berlaku secara nasional,
sehingga guru yang melakukan perundungan, kekerasan seksual, dan
intoleransi di satu organisasi profesi bisa pindah ke sekolah dan
organisasi profesi lain.
|
- Guru wajib memenuhi kode etik guru.
- Kode etik guru nasional disusun oleh organisasi profesi guru di bawah koordinasi kementerian dan ditetapkan oleh menteri.
- Kode
etik guru di tingkat organisasi profesi guru ditetapkan oleh organisasi
masing-masing dan paling sedikit memuat kode etik nasional.
|
Bab 12. Sekolah Diplomatik dan Lembaga Pendidikan Asing
Kondisi dan pengaturan saat ini |
Perbaikan yang diusulkan |
- Tidak dibedakannya sekolah diplomatik dan lembaga pendidikan asing yang menyebabkan kerancuan pada implementasinya.
|
- Membedakan sekolah diplomatik dan lembaga pendidikan asing,
di mana yang termasuk sebagai sekolah diplomatik adalah sekolah yang
didirikan dan dikelola oleh pemerintah suatu negara di negara lain untuk
mengakomodasi warga negaranya yang ingin mengikuti pendidikan
menggunakan standar dan kurikulum negara asalnya.
|
- Tidak ada mandat bagi lembaga pendidikan asing untuk mendukung kepentingan nasional pada UU Sisdiknas.
|
- Mengatur secara tegas bahwa lembaga pendidikan asing memiliki mandat untuk mendukung kepentingan nasional.
|
- Tidak adaewajiban bagi lembaga pendidikan asing untuk berprinsip nirlaba.
|
- Setiap lembaga pendidikan asing di Indonesia wajib berprinsip nirlaba.
|
- Lembaga pendidikan asing yang dapat menyelenggarakan
pendidikan di Indonesia hanya yang sudah terakreditasi di negaranya.
Belum mengakomodasi lembaga pendidikan asing yang terakreditasi secara
internasional.
|
- Selain lembaga yang terakreditasi di negaranya, lembaga yang
terakreditasi secara internasional juga diperbolehkan untuk
menyelenggarakan pendidikan selama memenuhi persyaratan.
|
Bab 13-14. Sanksi Administraif dan Ketentuan Pidana
Kondisi dan Pengaturan saat ini |
Perbaikan yang diusulka |
- Pengaturan mengenai sanksi administratif dalam UU Sisdiknas
tidak diatur secara eksplisit, namun diatur secara khusus dalam Pasal 92
UU Pendidikan Tinggi dan Pasal 77 sampai dengan Pasal 79 UU Guru dan
Dosen.
|
- Pelanggaran yang tidak menyebabkan kerugian materiil ataupun
fisik secara signifikan seperti penyelenggara pendidikan yang
memberikan sebutan guru besar dengan melanggar peraturan, penyelenggara
pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi persyaratan, dan setiap orang
yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai, lebih tepat dikenai
sanksi administratif dibandingkan sanksi pidana.
|
- Pengaturan mengenai sanksi pidana dalam UU Sisdiknas dan UU
Pendidikan Tinggi mengatur pengenaan sanksi dengan ancaman pidana
kurungan paling lama 10 tahun penjara dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
|
- Ketentuan pidana terhadap penyelenggara satuan pendidikan
yang didirikan tanpa izin perlu lebih spesifik mengacu pada
penyelenggara perguruan tinggi swasta atau lembaga pendidikan asing
tanpa izin. Bagi penyelenggara satuan pendidikan lain, terutama ribuan
satuan pendidikan nonformal termasuk pesantren yang belum memiliki izin,
ancaman hukuman ketentuan pidana terlalu berat.
|
|
- 3Mempertimbangkan ketentuan pidana yang
terdapat di dalam KUHP serta memastikan ancaman yang ada sebanding
dengan perkembangan hukum, ancaman pidana dalam RUU berupa pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
|
Bab 15. Ketentuan Pilihan
- Satuan pendidikan
pada jenjang PAUD dan jenjang pendidikan dasar wajib menyesuaikan
layanan pendidikan dengan RUU dalam jangka waktu paling lama 5 tahun.
- Satuan
pendidikan menengah vokasi yang melaksanakan kelas 10 sampai dengan
kelas 13 wajib menyesuaikan pelaksanaan pendidikan menjadi kelas 10
sampai dengan kelas 12 dalam jangka waktu paling lama 4 tahun.
- Satuan
pendidikan pada jalur pendidikan nonformal yang belum memiliki izin
pembukaan wajib mendapatkan izin pembukaan dalam jangka waktu paling
lama 1 tahun.
- Wajib belajar dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 8 tahun.
- Perguruan
tinggi negeri yang tidak berbentuk perguruan tinggi negeri badan hukum
menjadi perguruan tinggi negeri badan hukum dalam jangka waktu paling
lama 8 tahun.
- Sebelum terbentuknya lembaga akreditasi mandiri,
akreditasi program studi pada Jenjang Pendidikan tinggi dilakukan oleh
lembaga akreditasi nasional.
- Semua nomenklatur pendidik di luar
guru, dosen, instruktur, dan pendidik keagamaan dikelompokkan ke dalam
kategori guru, dosen, instruktur, dan pendidik keagamaan dalam jangka
waktu paling lama 5 tahun.
- Semua guru yang sudah terdaftar di
data pokok pendidikan dan belum mengikuti atau belum lulus dari
pendidikan profesi guru dapat tetap mengajar pada satuan pendidikan
bersangkutan.
- Setiap guru dan dosen yang telah menerima
tunjangan profesi, tunjangan khusus, dan/atau tunjangan kehormatan yang
diatur dalam UU Guru dan Dosen tetap menerima tunjangan tersebut
sepanjang masih memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
- Setiap guru dan dosen yang belum menerima
tunjangan yang diatur dalam UU Guru dan Dosen menerima besaran
penghasilan/pengupahan paling sedikit sama dengan penghasilan/pengupahan
yang diterima saat ini sepanjang masih memenuhi persyaratan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
0 2:
Posting Komentar